Memahami Tawassul dan Hukumnya
بِسْمِ
اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ
الْأُمِّيِّ وَآلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ
Kita sering mendengar seorang muslim
berdoa dengan mengucapkan beberapa kalimat berikut, “Ya Allah, berkat
waliMu Fulan, berilah aku….” atau ” Ya Allah, dengan kebesaran Fulan,
jadikanlah aku….”, atau “Ya Allah, berkat puasaku, mudahkanlah…” atau
“Ya Allah, berkat shalawat yang kami baca, anugerahilah aku…”, atau “Ya
Allah, berkat waliMu yang dimakamkan di kuburan ini, selamatkanlah
aku…”, dan lain sebagainya.
Semua yang tertera di atas merupakan contoh Tawassul. Yang menjadi pertanyaan bagaimana sebenarnya hukum tawassul itu sendiri?
Tawassul artinya menjadikan sesuatu
sebagai perantara dalam usahanya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala atau untuk mewujudkan keinginan dan
cita-citanya. Sedangkan wasilah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai
perantara dalam bertawassul. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewahyukan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰـهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ
الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
﴿سورة المائدة:٣٥﴾
“Hai orang-orang yang berimana, patuhlah
kepada Allah, dan carilah wasilah kepadaNya, dan berjuanglah di jalan
Allah, supaya kamu jadi beruntung” (Quran Surat Al-Maidah: 35).
Sesuatu dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) jika ia dicintai dan diridhai Allah Ta’ala.
Berdoa dengan bertawassul artinya
memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebutkan sesuatu yagn
dicintai dan diridhai Allah. Contohnya, jika seseoarang ingin
mendapatkan ampunan Allah, kemudian dia berdoa demikian, “Ya Allah,
berkat namaMu Ar-Rahman dan Al-Ghaffur, ampunilah segala kesalahanku”
atau “Ya Allah, berkat kebesaran nabiMu Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mudahkanlah segala urusanku yang Engkau
ridhai”.
Seseorang yang bertawassul berarti
mengaku bahwa dirinya penuh kekurangan. Dengan segala kekurangannya
tersebut, dia sadar bahwa doanya sulit dikabulkan. Oleh karena itu, ia
pun meminta syafa’at kepada sesuatu atau seseorang yang -menurut
prasangka baiknya- dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah hakikat
tawassul.
Secara garis besar, doa tawassul dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu tawassul dengan amal shaleh sendiri dan
tawassul dengan amal shaleh orang lain. Para ulama sepakat bahwa
tawassul dengan amal shaleh sendiri seperti shalat, puasa, membaca
Al-Quran, sedekah, dan lain sebagainya adalah bagian dari ajaran Islam.
Dalilnya adalah cerita tentang tiga orang yang terjebak dalam sebuah gua
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar
radhiyallohu ‘anhu (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Kalau bertawassul dengan amal shaleh
sendiri diperbolehkan, lalu bagaimana dengan tawassul yang bukan dengan
amal kita sendiri melainkan dengan orang lain atau nama seseorang
seperti perkataan, “Ya Allah, berkat Nabi Muhammad…” atau “Ya Allah,
berkat Imam Syafi’i…” atau “Ya Allah, berkat para Rasul dan waliMu…”,
dan lain-lain, bagaimanakah hukumnya?
Bagi orang-orang yang tidak memahami
alasan mengapa seseorang bertawassul dengan orang lain akan menuduhnya
telah berbuat syirik. Tuduhan ini tidak hanya salah tetapi sangat
berbahaya. Saudaraku, perlu kita ketahui bahwa seseorang yang
bertawassul dengan orang lain sebenarnya ia sedang bertawassul dengan
amal shalehnya sendiri. Bagaimana bisa?
Ketika seseorang bertawassul dengan
orang lain, pada saat itu ia berprasangka baik kepadanya dan meyakini
bahwa orang tersebut adalah seorang yang shaleh yang mencintai Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia
menjadikan orang tersebut sebagai wasilah (perantara) karena ia
mencintainya. Dengan demikian sebenarnya ia sedang bertawassul dengan
cintanya kepada orang tersebut. Ketika seseorang mengucapkan, “Ya Allah,
demi kebesaran RasulMu Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam…” berarti ia sedang bertawassul dengan cintanya kepada Nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Atau ada
orang yang berkata, “Ya Allah, berkat Imam Syafi’i…” berarti ia sedang
bertawassul dengan cintanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah. Kita semua
tahu bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada RasulNya, dan cinta kepada
orang-orang yang shaleh merupakan amal yang sangat mulia.
Ingatkah anda akan cerita seorang Badui
yang datang menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam menanyakan perihal kiamat? Dalam Shahih Bukhari diceritakan
bahwa seorang Badui datang menemui Rasulullah dan berkata, “Ya
Rasulullah, kapan kiamat tiba?”.
“Apa yang kamu pesiapkan untuk menghadapinya?”, tanya Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
“Aku tidak mempersiapkan apa-apa, hanya saja aku mencintai Allah dan RasulNya”, jawab Badui tersebut.
Rasulullah lantas bersabda,
“Sesungguhnya engkau akan bersama dengan yang engkau cintai”. (Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).
Dengan demikian, setiap orang yang
bertawassul dengan orang lain berarti ia sedang bertawassul dengan amal
shalehnya sendiri yaitu cinta. Sehinga tidak ada bedanya jika orang yang
ia jadikan sebagai wasilah (perantara) tersebut masih hidup atau telah
meninggal dunia. Sebab, kematian tidak dapat membatasi cinta seseorang.
Cinta kita kepada para Rasul dan kaum Sholihin tidak hanya ketika mereka
masih hidup.
Disamping itu, tawassul dengan orang
lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam, para Sahabat Nabi, dan kaum Sholihin. Di bawah ini akan kami
beberapa contoh yang insya Allah bermanfaat.
Tawassul Nabi Muhamamad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Orang-orang yang Berdoa
Abu Said Al-Khudri radhiyallohu ‘anhu
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam bersabda, “Barangsiapa keluar dari rumahnya dan menuju masjid
untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:
اللّٰهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ ، وَأَسْأَلُكَ
بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ،
وَلاَ رِيَآءً وَلاَ سُمْعَةً ، وَخَرَجْتُ اِتِّقَاءَ سُخْطِكَ ،
وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيْذَنِيْ مِنَ النَّارِ ،
وَأَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوبِيْ ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ
إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepadaMu dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepadaMu. Dan aku
memohon kepadaMu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak
keluar (menuju Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun
sum’ah. Aku keluar (menuju Masjid) demi menghindari murkaMu dan
mengharapkan ridhaMu. Oleh karena itu, kumohon Engkau berkenan
melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua dosaku.
Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.”
(Barangsiapa yang membaca doa ini), maka Allah menyambutnya dengan
wajahNya dan 70 ribu malaikat memohonkan ampun untuknya (Hadits Riwayat
Ibnu Majah dan Ahmad).
Sejumlah ulama besar dalam Ilmu Hadits
menyatakan hadits di atas adalah hadits shahih dan hasan, diantaranya
adalah Ibnu Khuzaimah, Mundziri, Abul Hasan (guru Mundziri), Al-‘Iraqi,
Ibnu Hajar, Syarafuddin Ad-Dimyathi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, dan Abi
Hatim (Lihat: Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Mafahim Yajibu
An-Tushah-hah, cet. X, Darul Auqaf Was Syu’un Al-Islamiyyah, Dubai,
1995, hal. 147).
Dalam hadits di atas disebutkan dengan
jelas bahwa Nabi Muhamamd Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam bertawassul dengan kemuliaan semua orang yang berdoa memohon
kepada Allah, baik mereka yang masih hidup, telah meninggal dunia,
maupun yang belum lahir di muka bumi ini.
Tawassul Nabi Adam ‘Alaihis Salam dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
Dalam sebuah riwayat, Sayyidina Umar bin
Khattab radhiyallohu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shollallohu
‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
لَمَّا
اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ
مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِيْ فَقَالَ اللّٰهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ
عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ لأنَّـكَ لَمَّا
خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ ، رَفَعْتُ رَأْسِيْ
فَرَأَيـْتُ عَلَى قَوَائِمَ الْعَرْشِ مَكْتُـوْبًا: لآ إِلٰهَ اِلَّا
اللّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ ، فَعَلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ تُضِفْ اِلىٰ
اِسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ ، فَقَالَ اللّٰهُ صَدَقْتَ
يَا آدَمُ اِنَّهُ لَأَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيَّ اُدْعُنِيْ بِحَقِّهِ
فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ ، وَلَوْ لاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau
berkata, ‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepadaMu dengan kemuliaan Muhamamd
agar Engkau mengampuniku’. Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau
dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Ku ciptakan?’. Adam menjawab,
‘Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan TanganMu dan Engkau
tiupkan kepadaku dari RuhMu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada
tiang-tiang ‘Arsy tercantum tulisan yang berbunyi La Ilaha Illalloh
Muhammadun Rasulullah. Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan
sebuah nama dengan namaMu, kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau
cintai. Allah berkata,”Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi
Muhammad) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaKu dengan
(bertawassul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu.
Dan andaikata bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu”.
(Hadits Riwayat Hakim)
Beberapa ulama besar dalam Ilmu Hadits
menyatakan hadits di atas adalah hadits shahih, diantaranya: Imam Hakim,
Al-Hafidz As-Suyuti, Qasthalani, Zarqani, As-Subki, Al-Hafidz
Al-Haitsami.
Dalam hadits di atas disebutkan dengan
jelas bahwa Nabi Adam ‘Alaihis Salam bertawassul dengan Nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahkan jauh
hari sebelum beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tawassul Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Seluruh Nabi
Ketika Ibu Ali bin Abi Thalib
radhiyallohu ‘anhu meninggal dunia yang bernama Fatimah binti Assad
radhiyallohu ‘anha meninggal dunia, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain
kafan. Kemudian beliau memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu Ayyub
Al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang pemuda berkulit hitam untuk
menggali lubang kubur. Mereka pun melaksanakan perintah
Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Namun,
ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berhenti.
Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali
liang lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di
dasar kubur dan kemudian berkata:
اَللّٰهُ الَّذِيْ
يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّيْ
فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا
مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ
فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
“Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan
Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Ampunilah
ibuku Fatimah binti Asad dan bimbinglah ia untuk mengucapkan hujjahnya
serat luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) NabiMu dan para Nabi
sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang
berjiwa kasih”.
Setelah itu Rasulullah Shollallohu
‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menshalatkan jenazahnya dan
memakamkannya dibantu oleh Abbas dan Abu Bakar Ash-Shiddiq (Hadits
Riwayat Thabrani).
Menurut Al-Hafidz Al-Ghimari, hadits di atas merupakan hadits hasan, sedangkan menurut Ibnu Hibban adalah hadits shahih.
Dalam hadits di atas disebutkan dengan
jelas bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
bertawassul dengan diri beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum
beliau, yang semuanya telah meninggal dunia kecuali Nabi Isa ‘Alaihis
Salam.
Tawassul Para Sahabat dengan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa
Utsman bin Hunaif radhiyallohu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki tuna
netra datang menemui Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali.
Pada saat itu Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau
bersabar dengan kebuataanya tersebut. Tetapi lelaki itu bersikeras minta
didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu
dengan baik dan membaca doa berikut:
اَللّٰهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمّدٍ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ إِنِّيْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ
لِتُقْضَى لِيْ اَللّٰهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan
berdoa kepadaMu dengan (bertawassul dengan) NabiMu Muhammad, Nabi yang
penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah bertawajjuh
kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul.
Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku” (Hadits Riwayat Tirmidzi
dan Abu Dawud).
Imam Tirmidzi menyatakan hadits ini
sebagai hadits hasan shahih. Imam Hakim dan Adz-Dzhabi juga menyatakan
hadits ini sebagai hadits shahih.
Saudaraku, dalam hadits di atas
Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengajarkan
cara kita bertawassul dengan beliau. Tawassul seperti ini tidak hanya
berlaku ketiak beliau masih hidup, akan tetapi juga dapat dilakukan
setelah wafatnya beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam. Buktinya sejumlah Sahabat Nabi menggunakan tawassul ini
sepeninggal Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam. Bahkan mereka mengajarkannya kepada orang lain. Ketika
menyebutkan hadits di atas, Imam Thabrani menceritakan bahwa ada seorang
lelaki yang seringkali mengunjungi Khalifah Utsman bin Affan
radhiyallohu ‘anhu untuk menyampaikan kepentingannya. Tetapi Khalifah
Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu tidak sempat memperhatikannya.
Ketika bertemu dengan Utsman bin Hunaif, lelaki itu menceritakan
permasalahan yang ia hadapi. Utsman bin Hunaif kemudian memerintahkan
lelaki itu untuk berwudhu, mengerjakan shalat 2 rakaat di masjid,
membaca doa di bawah ini dan kemudian mendatanginya untuk diajak pergi
menemui Sayyidina Utsman bin Affan. Inilah doanya:
اَللّٰهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ
اَتَوَجَّهُ بِكَ إِلٰى رَبِّكَ رَبِيْ جَلَّ وَعَزَّ فَيَقْضِيْ لِيْ
حَاجَتِيْ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan
bertawajjuh kepadaMu dengan (bertawassul dengan) Nabi kami Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Nabi yang penuh kasih. Duhai Muhammad,
sesungguhnya dengan bertawassul denganmu, aku bertawajjuh kepada Allah,
Tuhanmu dan Tuhanku yang Maha Agung dan Maha Mulia agar Ia mewujudkan
hajatku”.
Setelah melaksanakan saran Utsman bin
Hunaif, lelaki itu pergi menghadap Khalifah Utsman bin Affan
radhiyallohu ‘anhu. Sesampainya di depan pintu, sang penjaga
menyambutnya dan membawanya masuk degnan menggandeng tangannya.
Sayyidina Utsman radhiyallohu ‘anhu kemudian mendudukannya di permadani
tipis di dekatnya dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa hajatmu?”.
Setelah menyebutkan semua hajatnya, Sayyidina Utsman radhiyallohu ‘anhu
pun memenuhi permintaannya. Kemudian beliau radhiyallohu ‘anhu berkata,
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan hajatmu? Setiap kali kau butuhkan
sesuatu, segerelah datang kemari”.
Ketika meninggalkan kediaman Sayyidina
Utsman bin Affan radhiyallohu ‘anhu, lekali itu bertemu dengan Utsman
bin Hunaif radhiyallohu ‘anhu.
“Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Sebelum engkau ceritakan perihalku kepadanya, beliau tidak pernah
memperhatikan hajatku maupun memandangku”, ujar lelaki itu kepada Utsman
bin Hunaif.
“Demi Allah, aku tidak mengatakan apapun
kepadanya. Hanya saja aku menyaksikan seorang lelaki tuna netra datang
menemui Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
mengeluhkan kebutuhannya…. (sampai akhir cerita seperti yang tersebut di
atas).
Saudaraku, cerita di atas membuktikan
bahwa para Sahabat Nabi juga bertawassul dengan Nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sepeninggal
beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Disamping itu,
dalam Tafsir Ibnu Katsir juga diceritakan bahwa ada seorang Badui
berziarah ke makam Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam dan berdoa di depan makan Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam dengan bertawassul dengan beliau Shollallohu ‘Alaih
wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Ini jelas membuktikan bahwa sepeninggal
Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para Sahabat
Nabi juga bertawassul dengan beliau Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam.
Tawassul Sayyidina Umar bin Khattab dengan Sayyidina Abbas Radhiyallohu ‘Anhuma
Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik
radhiyallohu ‘anhu menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar
bin Khattab radhiyallohu ‘anhu meminta hujan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muthllib. Sayyidina
Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu berkata dalam doanya:
اَللّٰهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika
berdoa kepadamu kami bertawassul dengan NabiMu, Engkau pun menurunkan
hujan kepada kami. Dan sekarang kami berdoa kepadaMu dengan bertawassul
dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan” (Hadits Riwayat
Bukhari).
Tidak lama setelah itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan kepada mereka semua.
Hadits di atas menyebutkan dengan jelas
bahwa Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallohu ‘anhu bertawassul dengan
Sayyidina Abbas radhiyallohu ‘anhu, paman Nabi Muhammad Shollallohu
‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Ada sebagian orang yang
menggunakan atsar ini sebagai dalil bahwa tawassul dengan yang telah
meninggal dunia tidak boleh, sebab Sayyidina Umar bertawassul dengan
Sayyidina Abbas yang masih hidup. Pendapat seperti ini tidak tepat,
sebab dalam kenyataannya, Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam sendiri mencontohkan kita untuk bertawassul dengan
yang masih hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal dunia. Begitu
pula para Sahabat lainnya sebagaimana diceritakan tentang seorang tuna
netra di masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallohu
‘anhu. Lalu, apa maksud tawassul Sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas
yang masih hidup? Tujuan beliau adalah untuk mengajarkan dan
mencontohkan kepada semua Sahabat bahwa tawassul dengan selain Nabi
adalah boleh dan dapat dilakukan. Beliau menunjuk Sayyidina Abbas adalah
karena kedekatan beliau dengan Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam. Sayyidina Abbas radhiyallohu ‘anhu merupakan paman
Nabi Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, ahli bait
Rasulullah Shollallohu ‘Alaih wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Kesimpulan
Tawassul merupakan salah satu bentuk
doa. Beberapa hadits di atas telah membuktikan bahwa tawassul denagn
amal shaleh sendiri dan dengan orang lain yang masih hidup ataupun yang
sudah meninggal dunia, merupakan bagian dari ajaran Islam. Oleh karena
itu, mari kita berhati-hati dan tidak menuduh seorang muslim telah
berbuat syirik hanya karena bertawassul dengan mereka yang telah
meninggal dunia.
Oleh: Sayyidil Habib Novel bin Muhammad
Alaydrus, Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah Surakarta, dalam
bukunya yang berjudul “Mana Dalilnya 1: Seputar Permasalahan Ziarah
Kubur, Tawassul, dan Tahlil”, Cetakan XXIII, Maret 2008, Penerbit Taman
Ilmu Surakarta.
0 comments:
Post a Comment