Interpretasi Kitab Kuning
Interpretasi Kitab Kuning – Istilah kitab kuning
sudah tidak asing lagi bagi para santri dan kiai yang pernah mengeyam
pendidikan di pesantren terutama pesantren yang ada nilai kesalafannya.
Kitab tersebut sudah diajarkan sejak zaman dahulu oleh pendiri-pendiri
Islam di Indonesia. Kitab kuning adalah sebuah istilah
yang disematkan kepada kitab-kitab yang berbahasa Arab, yang biasa
digunakan oleh beberapa pesantren atau madrasah Diniyah sebagai bahan
pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Sebenarnya warna kuning itu hanya suatu
kebetulan saja, lantaran zaman dahulu barang kali belum ada jenis kertas
seperti zaman sekarang yang putih warnanya. Mungkin di masa lalu yang
tersedia memang itu saja. Juga dicetak dengan alat cetak sederhana,
dengan tata letak dan lay-out yang monoton, kaku dan cenderung kurang
nyaman dibaca. Bahkan kitab-kitab itu seringkali tidak dijilid,
melainkan hanya dilipat saja dan diberi cover dengan kertas yang lebih
tebal (kurasan).
Untuk sekarang, kitab-kitab tersebut
sudah banyak yang dicetak dengan memakai kertas putih dan dijilid dengan
rapi. Penampilannya tidak kalah menariknya dengan penampilan buku-buku
yang selain memakai bahasa Arab, seperti kitab-kitab yang dicetak dari
percetakan Dar al Kotob Al Ilmiyah, Beirut Lebanon dan Al Haramain
Surabaya.
Kitab baru yang sudah masuk dalam kategori kitab kuning contohnya “Fiqhul Islam” terbitan 1995. Sedangkan kitab kuning tulisan ulama Indonesia di antaranya kitab “Sirojul Tholibbin“. Kitab yang memperjelas kitab “Minhajul Abidin” karya Imam al-Ghazali itu ditulis Syaikh Ikhsan dari Pondok Pesantren Jampes, Kediri. “Sirojul Tholibbin”
hingga kini menjadi bacaan wajib di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Contoh kitab kuning dari ulama Indonesia lainnya adalah kitab “Sullamut Taufiq” karya Imam Nawawi dari Banten, yang bertarikh 1358 (Majalah Tempo Interaktif, 2009).
Istilah kitab kuning bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning”
ini adalah ciri khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab
gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang
tidak berharakat, bahkan tidak ada tanda baca dan maknanya sama sekali.
Tidak seperti layaknya kitab-kitab sekarang yang sudah banyak diberi
makna dan harakat sampai catatan pinggirnya.
Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain untuk kitab kuning.
Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak
kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan
gaya penulisannya kini jarang lagi digunakan kecuali di pesantren yang
masih kental dengan nilai-nilai kesalafan seperti pondok Lirboyo, Sarang
dan Ploso.
Meski atas dasar rentang waktu yang
begitu jauh, ada yang menyebutnya dengan sebutan “kitab klasik”
(al-kutub al-qadimah). Secara umum, kitab kuning
dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang
merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang
ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
Untuk lebih detail lagi, kitab kuning dapat didefinisikan dengan tiga pengertian:
Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia.
Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing. Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya (Rifqi, 2012).
Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia.
Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing. Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya (Rifqi, 2012).
Kategori pertama disebut kitab-kitab
klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut
kitab-kitab Modern (al-kutub al-‘ashriyah). Perbedaan yang pertama dari
yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak
mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya
yang berat, klasik, dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Dalam perkembangannya, istilah kitab kuning
yang sudah mendarah daging untuk kalangan pesantren salaf telah dibuat
plesetan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dengan
dikonotasikan sebagai idiom atas kotoran yang berwarna kuning
(Intelektual Pesantren, 2003). Statemen ini jelas sangat menghina para
kiai dan santri serta menghina nilai-nilai yang tertera di dalam kitab
tersebut.
Menanggapi masalah istilah kitab kuning,
KH. Maimoen Zubair, pengasuh Pesantren Al Anwar dan juga mudir ‘Am
majalah At Turast (majalah pegon di Yogyakarta) mempunyai pemikiran yang
cemerlang. Menurutnya, kuning yang ada dalam istilah kitab kuning
itu diambil dari kata Arab “ashfar” yang mempunyai arti kosong. Jadi,
kalau seseorang ingin menjadi kiai atau ulama yang alim dalam masalah
agama, dia harus bisa membaca kitab dengan kosong, tanpa memakai makna
gandul (makna pegon ditulis miring) dan harakat (22/09/2012).
Untuk mencapai derajat kiai yang alim
seperti yang telah dikemukakan oleh KH. Maimoen Zubair tadi, tentunya
seseorang harus belajar dengan tekun untuk memahami Gramatika Arab,
seperti kitab Al Jurumiyah (karya Syaikh Muhammad As Sonhaji), Al
Imrithi (karya Syaikh Sarifudin Yahya) dan Alfiyah (karya Syaikh
Muhammad Jamaludin bin Malik). Di dalam tiga kitab ini memuat
kaidah-kaidah yang dapat mengantarkan kita untuk memahami kitab kuning. Ujungnya, kita akan memahami sumber pokok hukum Islam, al-Quran dan al-Hadist. (Amirul Ulum/Danis)
0 comments:
Post a Comment